EMPAT MUSIM
Pertemanan dalam
kebaikan adalah penolak bala mati kesepian.
Kadang kala, ada
satu waktu dalam hidup yang mampu mengubah paradigma berlumut di kepalamu. Seperti
kisahku, tentang empat manusia yang menasbihkan pertemanan. Seperti empat penjuru
yang memiliki arahnya masing-masing. Serupa empat musim yang memiliki waktunya
sendiri untuk bercerita. Aku dipertemukan mereka.
1.
Summer
Namanya kak Dani,
dia perlu menukarkan cintanya untuk semangkuk bakso rica-rica. Kegalauan seakan
menguasai semua tweet dan statusnya di jejaring sosial. Banyak kali diingatkan,
semakin berulah dirinya. Namun sejajar pula doa kami, semoga dia menemukan
penutup lubang di hatinya.
Hei, dia relawan
sejati. Selalu mengatakan nakke dan menunjuk katte? Entah apa
maksudnya. Siapalah aku mengajarkan pertemanan, hanya saja dimana kamu
mendapati kekurangan namun tak mempersoalkan? Kak Dani mengajarkan hal ini pada
kami.
2.
Winter
Orang unik
setingkat di atas orang cerdas, papar guruku. Ah, tak dinyana lingkaran pertemanan
ini diisi oleh Gading. Selalu ingin tampil beda dari orang lain, walau akhirnya
terlihat aneh dengan membuat diri se-cool mungkin ketika yang lainnya pecah
dalam tawa. Gading punya aura merah yang berlebih, meledak-ledak, yang
menakutkan dia memiliki kejujuran tingkat dewa. Suka jika suka. Tidak bila
tidak. Harus punya hati yang kuat untuk berteman dengannya. Dia unik bukan?
3.
Autumn
Lewati saja aku.
4.
Spring
Jika kak Dani
bergerak di bidang kata-kata gokil, kak Irna selalu punya persediaan kalimat aneh
yang mampu membuat kami mati kutu. Semoga tak benar dan tak salah pada
waktunya. Silahkan memaknainya, jika otak kamu sudah siap tertusuk-tusuk
jarum.
Oh yah, tidak ada
yang bisa menghentikan tawa kak Irna kecuali dirinya sendiri. Ah, kuakui sangat
menggelikan melihatnya menahan tawa.
***
“Al,
kamu sudah siap?”
Tentu.
Aku menutup buku. Meletakkan pena. Ada sangsi di wajah ibu, lalu aku kuatkan
perkataanku dengan senyuman. Tak berhasil ternyata. “Yang sabar yah nak,
kuatkan dirimu.” Pelukannya mengendur, tangisnya berubah isak ketika suara
dokter menyapa kami.
“Sudah
saatnya, Al.”
“Jaga
baik-baik bukuku, bu.”
***
Setiap
cerita memiliki masa. Aku pikir tak ada yang lebih baik selain berteman dengan
sepi. Sungguh, Tuhan Maha membolak-balikkan hati. Aku lupa pada tanggal berapa
aku memiliki teman. Teman yang nyata. Yang mampu membuatku keluar dari musim
kesunyian, lalu memperlihatkanku pelangi selepas hujan. Ramai tawa di sepanjang
obrolan. Hangatnya sebuah kebersamaan.
Ada
yang mengingatkanmu, menertawakan hal-hal aneh, marah-memarahi, semuanya aku
dapat dalam koridor pertemanan. Sejak itu, sajak-sajak sepi memiliki porsi
sedikit di bukuku.
“Sekarang kamu
tahu bagaimana caranya tertawa kan?”
Aku mendelik, “Hei,
kalian pikir selama ini aku tak pernah tertawa?!”
“Ehm, karena
ketika kami menemukanmu, wajahmu lebih tua sebelumnya. Kamu terlalu banyak
melipat kening dan merengut. Bukan begitu, Gading?” kelakar kak Irna.
“Dan dia selalu
tersesat. Menggelikan sekali.” Mereka tertawa puas mempermainkanku. Aku
melempar pandangan. “Tobatlah secepatnya!” ketusku.
“Tobat itu, buah
berwarna merah temannya cabe kan?” kak Dani memulai.
“Haha, itu tomat!”
balas Gading. “Dan tomat itu, yang biasa dilakukan dukun. Tomat-tamit!”
Aku tersedak.
“Bukan Gading, itu
komat-kamit! Ah, kalian semua ini mulai deh penyakitnya pada komat.”
Serempak aku, kak
Dani, dan Gading berteriak, “Itu Kumattttttttt!” Tawa meruntuhkan
kejengkelanku. Sore itu, aku lupa rasa sakit yang menusuk-nusuk kepalaku.
Sementara kak Irna lupa bagaimana menghentikan tawanya.
***
“Apa
yang kamu tertawakan, Al?” Mungkin kali pertama dokter melihat pasien yang akan
dikemotheraphy tertawa lepas sepertiku. Raut wajahnya penuh kebingungan.
“Dokter,
aku adalah Autumn. Di belahan bumi utara, pepohonan melepas daun-daun mereka
seperti halnya rambutku yang menggugur. Dan matahari terbenam lebih awal. Hari-hari
terasa lebih pendek. Aku bak musimku, dok.”
Kebingungan
di wajah dokter bertambah dua kali lipat. Aku tersenyum.
***
3.
Autumn
Aku punya ingatan
yang lemah, suka lupa mengingat tanggal, nomor telepon, nama jalan, dan banyak
hal. Tapi di puncak rasa sakit ini, aku dapat mengingat jelas janji kak Irna
untuk menjaga bukuku, kak Dani yang akan mentraktir bakso rica-rica, serta
tawaran Jus Alpukat dari Gading. Senyum mereka. Tawa kami. Segala kenangan yang
terukir. Mataku terpejam.
Aku bahagia.
Karena aku tahu, aku takkan mati dalam kesepian.
[Ini hanya fiksi belaka,
kalo ada kesamaan nama, watak, tokoh yah anggap saja emang disengaja hehehe]
*Kupersembahkan untuk yang merasa saja. Tak lagi melempar bola, ini benar-benar gol... hehehe
No comments:
Post a Comment