Aku sedang berbaring ketika seberkas sinar menerobos triplek bocor,
menyorot lurus tepat ke arah mataku. Apa yang dibawa sinar itu? Mengapa
aku menangis, hatiku bergetar, lalu sinar itu menjelma pisau kuning
keemasan. Menusuk mataku. Kiri saja. Lalu darah mengucur deras sekali.
Mata kananku juga mengalirkan banyak sekali air mata.
Sinar itu, ah bukan, pisau itu menusuk tanpa henti. Aku punya kekuatan
untuk bangkit, tapi anehya aku tidak memiliki keinginan itu. Aku masih
berbaring. Dengan dua sungai di pipiku. Kubiarkan saja.
Sakitkah? Sangat!
Tiba-tiba...
Pisau kuning keemasan itu melebur menjadi sinar kembali. Tertarik
pulang pada jalan kedatangannya, lurus menuju kembali lubang di triplek
kamar. Perlahan-lahan. Dengan samar aku memperhatikannya hingga tidak
ada lagi sinar tersisa.
Yah, aku masih berbaring. Memegang mata kiriku, tidak ada darah. Mata
kananku, kering tak ada air mata. Kini aku sangat berkeinginan untuk
bangkit dan pergi. Entah kemana. Belum ada lima menit sinar itu pergi,
aku merindunya.
Ada yang aku sesalkan tadi, mengapa tak kugunakan pisau kuning keemasan
itu untuk menusuk jantungku. Menghentikan detakan yang merusak sepiku.
Menghentikan detakan yang tidak beraturan, mengganggu kesunyianku.
Mungkin kematianku akan menjadi berita terhebat seantero jagad raya,
wanita muda yang membunuh dirinya dengan pisau yang terbuat dari sinar.
Mungkin saja, darahku berwarna kuning keemasan. Jasadku akan bercahaya.
Dan bintang-bintang malam mengajakku menjadi temannya. Atau lampu-lampu
jalan, kunang-kunang, iri padaku yang lebih bercahaya.
Hahaha, ah...aku tak tidur. Tapi aku nekat bermimpi. Kematianku hanya
akan menjadi seremoni lepasnya ruh dari raga. Tidak ada cahaya. Tidak
ada sinar.
Dari sepi kembali sepi.
Aku tahu sekarang kemana aku harus pergi.
Di sebelah kamarku, adalah dapur tempat ibu menghabiskan hampir separuh
waktunya di sana. Pernah aku melihat sebuah pisau. Meski berkarat, tak
mengapa, toh apa bedanya jantung dengan daging sapi yang masih bisa
terpotong kecil-kecil.
Pisau berkarat?
Aku lega tahu apa yang harus aku lakukan.
Aku sudah turun dari ranjang, di ambang pintu aku masih saja berharap,
sinar itu datang kembali dan menjelma pisau kuning keemasan.
Tapi itu tak mungkin. Di luar sudah sangat gelap. Dan hanya ada pisau
berkarat. Untuk mengembalikan sepi pada sepi. Gelap untuk gelap. Damai
ke damai yang selalu kunantikan.
Saat pisau berkarat itu menembus jantungku, maka cerita ini tamat. Tanpa sinar.
No comments:
Post a Comment