Monday, February 24, 2014

Matari dan Si Penanya: Seribu Kunang-Kunang


Kunang-kunang dan kebahagiaan terkenang.

"Apa benar kunang-kunang itu adalah kuku orang mati?" Tertawalah Si Penanya dan mengangguk pada Matari. "Kalau begitu, kegelapan lebih baik dari seribu kunang-kunang. Aku takut menukar kebahagiaan dengan kematian." Matari menutup bukunya. Tak memedulikan Si Penanya yang ingin menjelaskan sesuatu.

"Itu Mitos!" Si Penanya menyingkat segera. Menahan langkah Matari yang selalu bertolak dari dirinya.

"Aku tahu." jawab Matari datar. "Aku belum percaya sepenuhnya padamu." Pergilah Matari menembus malam. Lubang besar tetaplah milik Si Penanya. Ada sedikit jera tertera.  

Apakah aku lelah? Si Penanya tersenyum kecut. "Aku pikir ini bukan kisah cinta. Semacam pengulangan pertemuan-perpisahan. Akulah pertemuan dan perempuan itu perpisahan. Dimana sebenarnya letak kesedihan lebih besar bersarang? Uff!"

Malam pekat. Si Penanya pulang. Berharap memiliki seribu kunang-kunang.


 18.02.14/14.00

Saturday, February 15, 2014

Sebuket Status di Meja Malam #2


"Yang tersaji adalah yang aku suka. 
Sebut saja, ini malam keegoisan."

*

Jika hujan adalah sesosok orang, saya rasa dia orang yang menyenangkan. Tapi, dingin. Mungkin butuh waktu lama untuk mengenalnya dan menyukainya. (15.02.14)

Di duniaku, engkau ingin terlihat. Di duniamu, aku ingin terlihat. karena sungguh berat, hanya saling melihat bahwa kita tak terlihat. (07.02.14)

Dan siapa-siapa yang berbelok menujumu, adalah mereka yang merubah tujuan. Ada yang sungguh yakin, ada pula yang tersesat. Bedakanlah! (06.02.14)

Bertanya, jawab sendiri. Mencari, menemukan sendiri. Jika dirasa baik, lega sendiri. Jika buntu, pusing sendiri. Sekian. (02.02.14)

The season of the year between summer and winter, when the leaves fall of the trees. (31.01.14)

Seseorang pernah berkisah padaku tentang si otak dan si hati yang tiada pernah akur. Bahkan si hati pernah diikat di kursi oleh si otak. Meski bukan dongeng, kisah ini menarik. Bila seseorang itu kutemui di suatu waktu, aku akan bertanya, "Apa kabarnya si otak dan si hati?" (29.02.14)

Jika kelopak membuka dan matahari masih di peraduan. Rinduku datang lebih dulu tanpa sinar. Peluklah angin, kehangatan perlu diuji sejenak. Bila ragumu lebih liar, selalu ada jalan keluar. (28.01.14)

Sometimes I need second language: Sarcasm (27.01.14)

Dia yang Tak Terlihat, mendapat lebih banyak rasa sakit saat melihat. (24.01.14)

Dimana kesunyian lebih sering berada, malam atau pagi? (24.01.14)

Memandangimu saat senja
Berjalan di batas dua dunia
Tiada yang lebih indah
Tiada yang lebih rindu
Selain hatiku
Andai engkau tahu
-Aku Ada, Dee-
(23.01.14)

P E N C I T R A A N! (19.01.14)

Di hari jumat menabung sepi
Pecahkan rindu di hari sabtu
Semangatlah mengejar mimpi
Asa dan usaha harus bersatu
 -
Langit menangis tiap waktu
Ciptakan genangan air mata
Usahlah risau memendam rindu
Bahagialah kita punya cinta
(17.01.14)

Sebagai perempuan kita harus kuat, punya skill, terus belajar. Meskipun telah bersuami, bukan berarti semua terhenti. Tidak pula bergantung. Karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tentang takdir-takdir yang memaksa kita berjuang di atas kaki sendiri. (10.01.14)

Siapa-siapa yang tidak memiliki rahasia, tak menarik. Adapun yang terlalu banyak, menakutkan. Setidaknya milikilah satu rahasia, seperti nafas seperti detak dalam dada. Berhenti pada waktu yang sama. Itu keren! (08.01.14)

"Kau ingin menangis?" Tanyanya untuk puluhan kali. Tidak.
"Kau ingin menangis kan, menangislah?!" Katanya lagi.
"Aku tidak ingin menangis!!! Kau dengar itu? Sekali lagi kau bertanya, aku akan benar-benar menangis seperti anak keci. Puas?!"
Si Penanya tertawa melihat ledakan Matari. "Ini tisu dan ini bahuku. Menangislah!"
Matari melenggang pergi. "Sekalipun dunia meminta, aku takkan menangis."
(05.01.14)

~Edisi Januari-Februari 2014~

*

Memindahkan status, agar ingatan tak putus.

Sebuket Status di Meja Malam #1


"Agar tak hilang saja."

*

Sebagai pembelajar, mari kita belajar 'mengarang' sejarah hidup kita sendiri. Kalau kata Paulo Coelho, mencari legenda pribadinya! Bangun dan kembangkan karakter kita. Dan Fidele a la mort untuk menjadi otentik, unik dan tak terbandingkan dengan orang lain. (24.12.13)

Dari sekian banyak cara menghabiskan umur, semoga TUA di JALAN bukan takdirku. (14.12.13)

Bilakah ada tempat terbaik untuk menuliskan semua impianku, adalah Langit kupilih. Lalu akan kudengar kata 'aamiin' bergemuruh dari segenap makhluk bumi.Tentu, jika bukan doaku, aku berharap ada doa orang lain yang ditujukan padaku dikabulkan oleh Allahku. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? (03.12.13)

Karena doa takkan tersesat, sejauh manapun ia melesat. (23.10.13)

Jika kamu mencintai seseorang, haruslah kamu menyelamatkan impiannya. _Masgun (14.09.13)

Tidak ada teman yang lebih nikmat dari teman yang salih, yang diberi kepada seorang hamba setelah islam. Jika dia lupa temannya mengingatkan, jika dia ingat ia membantunya. Siapa dia mendapatkan cinta dari temannya, hendaklah ia memegangnya. Karena sesungguhnya hal itu sangat jarang ditemukan. _Umar bin Khattab (11.08.13)

Bermuka tembok untuk kesekian kalinya. Ma, jangan heran yah anakmu seperti ini, hidup ini keas kalau hanya dilawan dengan muka bantal. (24.06.13)

Aku pernah melewati jalan ini sebelumnya. Sebab itu aku memilih diam. Sewaktu gerimis berhitung dengan tembaga. Sewaktu senja memekik memanggil kelam. _MWN (10.05.14)

Jika ingin satu, jangan ambil dua. Karena satu melengkapi, dua melenyapkan. _Dee (15.04.13)

"Perempuan mungkin cukup berpikir dua atau tiga kali untuk menjawab pertanyaan, tapi bagi laki-laki terkadang perlu 100 kali berpikir untuk sekedar memulai pertanyaan. _Masgun (07.02.13)

Malam minggu kemarin. Kau tak hanya berjanji.
kau berikan nafasmu. kau genggam anak-anakmu.
Kau genggam erat. Di tanganmu yang halus, kau pastikan
mereka tidak terjatuh. _Iwan Setyawan
(19.01.13)

Pemalsuan senyum. (08.01.13)

~Edisi Januari-Desember 2013~

*

Sebab waktu menuntutku berubah. Dan hatiku kadang berubah-ubah.

Tuesday, February 11, 2014

Rumah Tanpa Kita


"Sudah sampai rumah?"

*

Aku sampai. Iya, aku berkeliling kota lebih dulu, ini memang tak biasa. Kelak menjadi kebiasaan. Aku simpan tas dan buku-buku perpustakaan yang terpaksa aku pinjam -agar ada yang bisa kupegang- di atas meja. Di kursi ruang tamu, aku rebah. Aku sangat lelah.

Lepas istirahat sejenak, aku ke kamar. Berhenti di depan sebuah cermin, meneliti daging kecil yang tumbuh di wajah. Mereka ada banyak. Wajahku berminyak.

Aku rebah kembali, di atas kasur yang tak kenyal. Aku suka bergurau dengan kata itu: pipimu kenyal! Aku tertawa sendiri. Beringsut mematikan lampu, tidur tanpa cuci muka. Lagi.

Mataku tak langsung terpejam, kedap-kedip saja. Yang kupikirkan sudah tak terhitung, yang kugumamkan makin tak jelas, yang terjadi selanjutnya: aku menangis tak karuan. 

*

Aku sampai. Iya, aku berkeliling kota lagi, ini sudah tiga bulan lebih. Aku bisa menggambarkan rute perjalananku, tapi nanti. Kerlap-kerlip lampu di taman saat malam hari itu indah, aku ingin lebih lama di sana, mematri pendarnya dan kugambarkan ulang dalam ingatan. Kalau aku sudah di atas kasur dan sulit tidur.

Aku ke kamar mandi. Gosok gigi. Cuci muka. Cuci kaki. Aku baik-baik saja hari ini. Tak memaksakan diri meminjam buku, aku mulai terbiasa berjalan sambil menggenggam angin. Sesekali menepis dingin.

Lampu kamar menyala. Aku sedang mencoba tidur dalam terang. Menggosok-gosokkan kaki di seprei, lalu kegerahan. Aku tertidur perlahan. Aku melakukannya berulang dan menangis tak karuan jadi berkurang.

*

Aku sampai. Tidak, lepas kuliah aku langsung pulang. Ini sudah tahun ketiga, orang tuaku sebentar lagi datang. Walau kujelaskan bahwa aku bisa bertahan, mereka sangsi. Katanya mereka peduli dan takkan membiarkan aku hidup sendiri.

Sendiri.

Aku mengamati sekitar. Aku memang sendiri, menikmati segala yang sepasang. Mug, piring, sendok, handuk, sikat gigi, bantal guling, sendal rumah: sisa-sisa kebersamaan kita.

Di rumah ini pernah ada mimpi, saat kita terjaga mendengarkan dengungan nyamuk dan tertawa. Di rumah ini tinggallah sepi, semenjak kau tak lagi ada. Di rumah ini kelak akan menjadi cerita tetangga, tentang pasangan muda yang bahagia. 

*

Aku sampai, suamiku.


12.02.14/01.55

Monday, February 10, 2014

Lei


"Aku ingin mereka percaya, bahwa aku tak mengerti."

*

mereka yang bertanya tanpa mau mendengar
apa yang pantas dijawabkan?

yang dibutuhkannya
hanya anggukan kacung

bila tak dimengerti
dan sayangnya sungguh memang
tak mengerti

adalah tanduk kerbau
menusuk kepala
terburai isi

hanyalah seonggok otak
yang memang tak mengerti.


11.02.14/2.06


Friday, February 7, 2014

Batas





Di duniaku, engkau ingin terlihat. 
 Di duniamu, aku ingin terlihat.

Karena sungguh berat, 
 hanya saling melihat bahwa kita tak terlihat.

*

 Ada yang berhenti sebatas memandang punggung
lalu rindu menelikung.

Ada yang berhenti sebatas tatap sekilas
lalu rasa bersalah menderas.

Ada yang berhenti sebatas kata-kata
lalu perih memaksa tawa.

Dan yang berhenti pada doa-doa
mulai menjauh, jauh, jauh.


07.02.2014 




Sunday, February 2, 2014

Bersedihlah!


"Bersedihlah, bersedihlah sampai hatimu menyadarkan untuk berhenti. Lalu kuatlah, kuatlah agar sedihmu berarti."

*

Di suatu khayalku, seorang pria akan meninggalkan kekasihnya pergi jauh. Tak dilewatkan barang sedetik waktunya untuk menajamkan ingatan, menyusuri jejak wajah sang kekasih, dan tak melupakan bahwa ada tahi lalat kecil di sudut mata kirinya. Pria itu tak banyak bicara. Tapi matanya seperti sumur yang dalam, dalam sekali. Bila sang kekasih berkata sepatah, sumur itu menggema, menelurkan banyak suara. Riuh.

"Aku akan pergi," katanya setelah melihat langit. Awan hitam barangkali jadi tanda keberangkatan. Sang kekasih ikut mendongak, lalu mengangguk. Rintik di matanya lebih cepat dari yang diduga. Tahi lalatnya ikut basah kena seka. "Jangan bersedih!" sambung si Pria sambil mengusap air mata di wajah kekasihnya.

Sang kekasih menarik tangan si Pria dan menggenggamnya erat. "Ketika ada hal yang membuat seseorang jauh dengan apa yang dia cintai, jangan katakan, 'Jangan bersedih!' Sungguh aneh rasanya. Kesedihan akan jelas ada dan bukan kejahatan berada di dalamnya. Biarkan aku bersedih. Sebanyak yang kumampu, lalu yang perlu kau tinggalkan padaku adalah kalimat pembesar hati. Aku ingin itu, sayang."

Sumur bergolak, dari kedalaman yang tak berdasar, ada gemuruh yang besar. Pria itu tersenyum. 

"Bersedihlah, bersedihlah sampai hatimu menyadarkan untuk berhenti. Lalu kuatlah, kuatlah agar sedihmu berarti."

Di suatu khayalku, mereka pun berpisah. Dan bertemu kembali dalam waktu yang entah.  

*Welcome Februari, 12.43