Friday, December 28, 2012

Super Trap


Ketika kamu mempercayai semua smsnya yang manis.
Padahal kamu tahu, dia memang manis ke semua wanita manis.
Jadi,

biasa sajalah. 



Thursday, December 20, 2012

"........."


"Kak, jangan main hujan-hujanan."

"Nggak apa-apa kok dek. Airji. Hanya membasahi tidak menyakiti."

"Nanti sakitki. Siapa rawatki?"

Glek. Speechless. Oalaaahhh...


***

Percakapan yang takkan pernah saya lupakan. Saya tidak tau nama adik kecil itu, dia dan teman-temannya sedang bercengkrama di tempat penjagaan sendal Masjid Al-Markaz Maros.

 Siapa rawatki?

Hahaha, pertanyaan polos dari seorang anak-anak. Spontan saya tertawa. 
Huh. Setelah itu saya hanya bisa terharu. :(

Perhatiannya itu adik...


Terima kasih yah. 


Insya Allah saya sendiri yang akan merawat diri saya dik. 
Tapi kalo parah yah saya serahkan ke dokter saja. hehe

.

Wednesday, December 12, 2012

Lagi-Lagi



Ada yang ingin menghancurkan keluarga saya. 
Ada yang ingin membuat saya bisu. 
Lakukan saja! 


Takkan kubiarkan jiwaku dikendalikan.


Semoga Tuhan menjawab kemarahan dia. 
Dengan kebijaksanaanNya.
Menolongku
juga keluarga nun di sana.


Aamiin.






Tuesday, December 4, 2012

Loving In Silence


For the wind


I love you in silence.
Because only empety space in there.
That is able to save laughing and tears of me,
because of you.


I love you in silence.
Even all of dreams is you.
That is alive and moving without word,
without voice.


I love you silently.
Then the silence that I feel.
Is it sick,
is it bitter,
is it difficult


unchanged.
 It's love.
Yours.


In silence, the love is voicing
and
sparkling.



diterjemahkan oleh teman saya The Stranger,  (Tararengkyu) ^.^
puisi aslinya lihat di Levitasium Aramiis blogku yang lain. 
Mampir yah..



Sunday, December 2, 2012

Baru Rilis




         Kelaparan adalah burung gagak. Yang licik dan hitam. Jutaan burung-burung gagak bagai awan yang hitam.*

            Bukk!! 

           “Berhenti ngoceh Item. Makanya kerja, cari uang biar gak kelaparan!” Mata emak yang melotot tajam, menyembul dari balik pintu. Dari mulut keringnya, keluar omelan panjang bak koakan gagak hitam yang menakutkan.
          Aku mengerang, mengusap kepalaku yang kena lemparan mangkok. Untung saja mangkok plastik, kalau terbuat dari kaca, bisa pecah nih kepala. Aku bergidik membayangkannya.
“Biarin, biar pecah sekalian batok kepalamu. Ngegombalin hidup tiap hari, kelaperan tiap saat, nyusahin ajha jadi anak.” Aku tercekat, lho kok emak tau isi pikiranku sih. “Gue kan emak lu item!”
Gue, lu?
Aku bersiap loncat dari bale-bale sebelum pertunjukan itu dimulai. Benar saja, tak lama setelah pantatku lepas dari bambu-bambu reot, jeritan panci yang beradu dengan ember terpantul-pantul di dapur. Keluar melewati dinding bocor. Aku mendengarkan orkestra pagi dari balik pohon mangga di belakang rumah. Dengan nafas memburu, aku menyesali keadaan yang sama tiap hari. Isyarat kemarahan emak adalah perubahan katanya yang halus nan puitis menjadi gaul anarkis. Berarti emak benar-benar mengamuk, kali ini. Lagi.
“Capek-capek gue nguliahin lu bertahun-tahun, nggak ada hasilnya. Empet gue. Asem dah. Kerja Item, kerja, berusaha sekuat tenaga atau siap-siap kita jadi gelandangan. Lu mau lihat emak lu mati kekeringan, diuber-uber Engkong Sanip gara-gara hutang kita udah kayak gunung Merapi mau meletus lagi. Item, Item…” 

Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh, Hidup adalah untuk mengolah hidup.* 

Aku menggumamkan syair bang Rendra untuk kesekian kali. Suara emak mulai samar terdengar, mungkin ia kehabisan tenaga, atau sedang membereskan kekacauan yang dibuatnya sendiri. Tapi aku yakin, emak sedang berpuisi dalam hati. Berapa kali pun ia menyatakan kebosanannya mendengar syair-syair yang keluar dari mulutku, binar matanya berkata lain, ia akan berbalik dan lirih menyambung puisi yang tak khatam.
Bapak adalah keturunan pujangga yang mahsyur di tanah Jawa, bahkan sebelum mengenal bapak emak tak tahu apa-apa tentang puisi, namun mereka disatukan oleh syair-syair dan menelurkan cinta puisi padaku. Rendra. Begitulah mereka menamakanku. Berharap aku seperti si burung merak yang mengembangkan sayap sastra. Aku suka harapan itu. Kerena aku mulai mencintai puisi. Seperti emak.
Mengolah hidup, beritahu aku caranya bang Rendra. 

###

        Menjadi pengangguran adalah tekanan mental yang tak terdeskripsikan. Apalagi gelar bercokol di belakang nama. Desakan emak juga jeritan panci-panci menghantui. Sapaan menyakitkan tiga kali sehari, “Kerja dimana sekarang, Ren?” Oh Tuhan, ada sembilan puluh sembilan pintu rejeki. Tak ada satu pun yang terbuka untuk hamba sahaya ini. Atau, belum jodohku?
         Aku menatap diriku di cermin. Dasi yang sama. Kemeja yang lalu. Ikat pinggang peninggalan bapak. Ah, mengenakan pakaian terbaik untuk melamar pekerjaan yang angkuh bak putri raja. Lagi. “Semoga saja hasilnya tak sama seperti dulu-dulu.” Aku merapal doa. Sekilas mataku tertubruk pada mata yang penuh kelegaan, kebebasan, memegang toga, menggenggam tangan emak. Aku tertunduk. Malu pada diriku sendiri. Tiga tahun yang lalu, tak kusangka, kiranya gerbang kesuksesan telah terbuka untuk pemuda bertitel ini. Tapi tidak. Oh, belum. . .
         “Emak,” panggilku dari balik pintu kamar yang tertutup rapat. “Rendra, mau berjuang lagi. Doakan yah mak, mungkin sekarang rejekiku.” Tak ada sahutan. Aku melenggang pergi penuh harap. Pagi buta. 

             Hidup adalah merjan-merjan kemungkinan, anakku. . .*
     Wanita bermukena putih bersimpuh di atas sajadah, menyisipkan syair di antara rentetan doa. Melinangkan air mata dan mengusapnya. “Bukan emak tak tahu perjuanganmu mencari pekerjaan, hanya emak tak ingin kamu berputus asa dan berlindung pada syair di pagi, malam, siang hari. Seharusnya syair-syair itu membangkitkanmu, bukan menina-bobokanmu.”
         Fajar menyingsing. Emak membereskan panci-panci di dapur yang tak sempat ia bereskan tadi malam. Bersajak dalam keremangan. 

###

         Aku tak pernah lagi memakai syair untuk menggombal wanita, karena kutemukan sekarang mereka tak menoleh biar secuil pada sajak romantis. Tanpa embel-embel yang lain. Makan tuh puisi! Begitulah hasilnya ketika aku bermodal nekat membawakan sejumput puisi dari Khalil Gibran.

      Aku mulai berpuisi untuk hidupku. Hidup yang mencari-cari arah, seperti sekarang ini terjebak di kerumunan pasar tanpa tujuan. Aku lelah mengetuk pintu-pintu lembaga, tidak ada lowongan mas, bosan aku mendengarnya. Aku tak ingin pulang dengan tangan hampa, tak ingin mengecewakan emak lagi. Aku akan ke rumah Bang Ijul menerima tawarannya untuk menjadi kernet, menggantikan anak buahnya yang terjatuh kemarin. Entah, apakah ini dapat menghapus rasa kecewa emak. 

Berpuisilah di jalan, pujangga. Ujar Bang Ijul mantap sambil tertawa kecil.

###

         Suasana dapur sunyi. Emak tak mengatakan apa-apa mengenai pekerjaan baruku. Susah payah aku menelan nasi, takut-takut ada panci nyasar terlempar tepat di jidatku. Aku menunggu-nunggu. Tapi, tak ada yang terjadi hingga suapan terakhir.
          Apakah emak berpuisi dalam kebisuannya?

###

      “Emak, apa emak nggak keberatan aku cuma jadi kernet.” Aku membuka suara. Emak menoleh, menaruh baju yang sedang dijahitnya. Lalu, menggeleng. Dahiku mengernyit, tak percaya.
        “Aku masih mencoba mencari pekerjaan lain. Menjadi kernet bukan pilihan terakhirku, mak. Pekerjaan ini lumayan sulit dan sangat melelahkan.”
      “Semuanya akan beres. Pasti beres. Mengeluhkan keadaan tak ada gunanya. Kesukaran selalu ada-” Emak membaca penggalan puisi, Sajak Potret Keluarga, digantung dengan senyuman.
      “Itulah yang namanya kehidupan.” Sambungku. Emak mengangguk. Malam itu, rasa lelah dari segala kepenatan di jalan terlupakan. Hanya ada senyum emak yang menggantung di langit-langit kamar. Kami berpuisi.

###

          Kehidupan seperti pecahan huruf, sang pujangga akan merangkai kata, kata dipilin menjadi kalimat. Berbuah bait. Menggabungkan bait-bait dan memformatnya menjadi bab. Bab kehidupan baru Si Item.
Orang-orang terpukau. Mengelu-elukan namaku. Menyimpan baik-baik kata per kata dari sang pujangga yang berorasi dengan diksi manis semanis madu. Dipayungi bendera perpaduan tiga warna, aku menatap ribuan pasang mata yang menanti kelanjutan ucapanku.

         “Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa. Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya. Tak bisa kamu abaikan.*” 

        Semua mengacungkan tangan meneriakkan ‘Merdeka’ berkali-kali. Entah siapa yang menyuruh mereka. Bang Ijul tersenyum jumawa di baris depan, mungkin bangga melihat mantan anak buahnya menjadi calon orang nomor satu di ibu kota. Namun, tidak dengan emak.

             “Kelak, kehidupan kita akan menjadi lebih baik. Merdeka!” tutupku. 

###

        “Item, lu berpuisilah di bale-bale reot itu. Emak rela. Kalo lu masih nganggap gue emak, jadilah pujangga kedelapan setelah bapakmu. Pujangga yang menjadikan syair untuk membangkitkan, bukan menina-bobokan. Berhentilah berpuisi, berhentilah nak. . . ”

           Jeritan panci kembali terdengar dari dapur yang sempat sunyi 20 tahun lamanya.



Dimuat di Harian Fajar 18 Maret 2012.
*puisi-puisi yang tercantum diambil dari kumpulan karya WS. Rendra




Saturday, December 1, 2012

Bye


Terjaga lagi. Sengaja. Bukan inshomnia. Ada hal yang sedikit mengganggu. Di sela-sela mengerjakan tugas, saya lari ke sini. Ke rumah kedua saya dalam dunia maya. Saya terkadang lebih betah di sini, daripada dunia nyata. 

Sebab saya hadir dalam kata. Dan kekuatan kata itu, membuat saya merasa lebih istimewa. Saya bisa menjadi A, saya bisa serupa B, saya boleh jadi C, saya bisa menjadi apa yang saya inginkan. Dan tak ada yang bisa melarang saya. Saya bebas berekspresi. :)



Malam ini, saya baru saja melepas sesuatu. Hal yang tanpa saya sadari menggerogoti kemandirian diri ini. Saya terlalu bergantung pada seseorang. Saya menopang diri saya di bahunya. Hingga kaki saya terlalu santai, tak bekerja, berdiam saja. 

Saya percaya dia akan menjaga saya, dari segala penjuru. Seperti janjinya. Begitulah ucapnya banyak kali. Hei, hei, saya percaya itu. Bukankah kepercayaan teman itu harta paling berharga? Baiklah, untuk beberapa waktu janji itu masih setia di titiknya. Banyak tekanan, aku, kami melewatinya. 

Tapi hari itu.

Hari dimana ada yang bergeser dari titik. Ada bahu yang berpindah. Mungkin terlalu tiba-tiba, mungkin kenyamanan yang melena, mungkin ketidaksiapan adalah masalahnya... ah, banyak kemungkinan memang. Namun satu hal yang pasti, dia pergi. Teman yang pernah berjanji dan saya mempercayainya, pergi membawa janjinya. 

Seketika saya limbung. Saya bingung. Saya hampir terjatuh. Kedua kaki saya keram, tapi saya paksa berdiri, karena hanya itu yang harus saya lakukan. Berdiri dengan kaki sendiri. Menepuk-nepuk wajah, menyorot ke depan tentang satu kenyataan. 

"Kini kamu sendiri. Kini kamu sendiri. Dia telah pergi."






Saya marah. Saya benci. 

Mengapa dia pernah berjanji? Mengapa saya menyambut janjinya?
Mengapa dia pergi? Mengapa saya merasa dikhianati?
Mengapa dia membuat saya percaya? Dan mengapa saya percaya?
Mengapa semua harus saling menyambut? Mengapa harus terkoneksi?
Mengapa tidak timpang saja salah satunya? Mengapa tidak ada yang berkata 'tidak'?

Pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban itu menguap. Bersama hembusan nafas lelah saya. Saya hampir merubuhkan pertahanan yang saya buat. Tapi itu tak terjadi. Bukankah selalu ada kesadaran di saat ketidaksadaran hampir melenyapkan? Di detik-detik itulah, saya sadar.

Tidak ada yang salah dan perlu dipersalahkan. 

Saya dan dia seperti memainkan zona kenyamanan. Kami terjebak. Dan ketika ada magnet yang menarik saya dan dirinya untuk berpisah, keluar dari zona itu, terciptalah rasa keterasingan. Dulu kami saling membantu. Kini dipaksa menjadi satu-satu. 

Pada waktu... saya memulihkan diri. Menghargai kedua kaki sendiri. Mempercayai kata hati. Menjalankan hari-hari dengan kekuatan yang terlahir sedikit demi sedikit. Banyak tekanan, saya lewati. Banyak cobaan, saya hadapi. Tidak mudah, memang. Tapi semua bisa teratasi.

Tanpa dia. Tanpa janji siapa pun. 

Saya kembali. Saya menjadi lebih mandiri. Saya tersenyum lagi. Saya merasakan kembali zona nyaman itu, namun di atas kaki saya sendiri. Tanpa kutub yang akan menarik saya terpisah dari apapun. Kecuali pada optimisme di kepala saya. 

Malam ini, saya melepasnya. Melepas diri dari bayang-bayang janji. Dia memang tetap menjadi teman saya. Tapi tak lagi dalam satu zona. Aku-aku. Dia-dia. Aku bertahan dengan kedua kakiku. Dan dia dengan pilihannya, dimanapun sekarang dia berada. 

Mungkin, suatu saat nanti, aku akan berpikir dua kali tuk menyambut janji. Untuk sementara ini, aku sedang tak ingin menerima janji. Juga terlalu banyak mengumbar janji. Banyak ketidaksiapan dan yang terjadi kadang lebih menyakitkan dari yang kita sadari.


***


2.12.12/02.20